Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Senin, 24 Maret 2014

Sejak Awal Tempo Sinis kepada Islam


Kendati sudah berulang-ulang dibuktikan, bahwa jatidiri sejati majalah Tempo, yang sinis bahkan anti Islam, sekaligus menjalan misi Barat, namun toh apa yang dibeberkan secara telanjang oleh buku berjudul "Kekerasan Budaya Pasca 1965", karya Wijaya Herlambang, seorang dosen Universitas Pancasila dan
Gunadarma (terbit November 2013), tetap membuat terperangah buat umat Islam yang membacanya.

Majalah Tempo sebelum dibreidel 1994, dengan sangat teratur selalu membangun opini dengan semangat yang sinis dan melawan Islam dengan caranya. Pemikir Islam menyadari sejak lama, tapi tak mampu manangkalnya karena tidak memiliki media massa yang sepadan, sementara sebaliknya Tempo tidak sendirian menghantam aspirasi Islam, malah dengan bahu-membahu bersama harian Kompas.

Umat bagai tak berdaya menghadapi ejekan, sinisme, penghinaan  sampai serangan yang justru membatalkan slogan yang mereka banggakan sendiri sebagai suara hati nurani, jurnalisme berimbang dan obyektif yang semuanya adalah omong kosong. Ejekan kepada Islam, pernah dilontarkan secara ‘konyol-konyolan’ seperti dilakukan Arswendo Atmowiloto yang menghina Nabi Muhammad Saw dengan memajang survei tokoh yang menempatkan popularitas Nabi Muhammad Saw di bawah popularitas Arswendo.

Setelah geger hebat dan menjebloskan pimpinan Tabloid Monitor—bagian Kompas Grup-- itu ke dalam penjara, dua tahun kemudian Kompas secara sengaja malah membuat laporan yang tendensius sangat menghina Islam ketika membuat laporan menjamurnya kompleks pelacur di dekat lokasi kandang babi di Batam. Pelacur di dekat kandang babi yang diwawancarai itu diberi nama samaran : Aminah. Nama Aminah tampak sengaja dipilih, padahal nama ini dihormati umat Islam sebagai ibunda Rasulullah. Kenapa tidak dipilih nama samaran pelacur selazimnya seperti : Dora, Lince, atau Betty. Mengapa Aminah ? Mereka ingin mengejek Islam. Padahal niscaya umat Islam melalui tulisan atau lisan tak mungkin mengejek Ibunda Yesus, yang buat umat Islam adalah Siti Maryam yang amat mulia.

Tempo dalam sajiannya sangat tendensius mengangkat berita tertentu menyudutkan Islam, misalnya kasus Komando Jihad, Teror Warman, Peristiwa Tanjung Priok, Lampung hingga Aceh. Yang mencolok saat heboh kasus Salman Rushdi dengan karyanya" The Satanic Verses" yang sangat menghina Nabi Muhammad Saw dan Islam, Tempo melalui tulisan-tulisan Goenawan Mohamad sangat membela Salman Rushdi dengan dalih Freedom of Expretion. Pemimpin Tempo yang dipuja-puja anak buahnya dengan panggilan takzim : GM, malah menantang dirinya tidak takut jika diintimidasi umat Islam karena membela Salman Rushdi.

Sudah biasa jika Tempo menampilkan ilustrasi cover yang sangat menghina Islam. Tatkala membahas kekuatan  politik Islam, Tempo menampilkan illustrasi Bulan Bintang yang dililit kawat berduri sehingga membangun kesan kekejaman dan kekerasan. Inilah yang juga dilakukan pada Tempo di rezim reformasi saat ini yang belum lama ini memajang gambar cover babi disandingkan dengan logo MUI. Sampai pimpinan MUI mengirim sms ke Suara Islam : “Dulu Tempo lebih menampilkan wajah intelektual demokrasi, kini Tempo adalah menjadi sosok Kebencian yang Mendalam thd Islam dan ummat Islam. Penamplan cover Tempo dengan babi dan logo MUI adalah kekurang ajaran yang harus mnjdi perhitungan Islam—Ttd  wakilsekretaris MUI”.

Sesungguhnya sejak awal Tempo tak pernah menampilkan sebagai intelektual sejati dan demokrasi yang fair. Penampilan intelektualnya sebenarnya hanya menjadi pseudo-intelektual yang kosong melompong makna dan missi sejati intelektualisme. Walau demikian, banyak anak-anak muda Islam yang “terjeblos” menjadi wartawan Tempo dan terkecoh sihir intelektual gaya Tempo ini. Tatkala Tempo dibreidel, 1994, kader Tempo di koran Islam Republika, menganggap Tempo sebagai kawah candradimuka mengkader banyak wartawan besar Indonesia. Maka sang wartawan yang “katrok” itu menulis kolom berjudul Kuil Tempo dan menggambarkan Tempo bak kuil Shaolin yang mengkader para pendekar jagoan yang kini bertebaran di jagat jurnalistik.

Tatkala Kompas mengejek umat Islam pada 1992 dengan rubrik "pojok"nya yang menyebut Ijo Royo-Royo jika orang cadel menyatakan ijo loyo-loyo, masih muda sudah loyo. Sinisme itu didukung Tempo dengan GM menyajikan tulisannya di Catatan Pinggir, juga wawancara khusus Tempo dengan BJ Habibie  dan menyerang sikap Habibie  yang berpendapat komposisi parlemen dan kabinet—saat itu-- yang belum proporsional karena umat Islam yang 88% belum atau under-representated di DPR dan kabinet. Habibie dihantamnya karena pro Islam. Soalnya dan masalahnya, mengapa Tempo tidak berteriak-teriak ketika berpuluh tahun sebelumnya sejak 1970-an tokoh-tokoh Nasrani menguasai DPR dan kabinet Soeharto hampir 35% ?

Kembali ke buku "Kekerasan Budaya Pasca 1995", sungguh mencengangkan data ilmiah yang disajikan dalam buku itu, Tempo yang kemudian membangun  Komunitas Utan Kayu (KUK) dan beranak-pianak lembaga anti Islam mainstream seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), sebelumnya didirikan dulu Aliansi Jurnalistik (AJI), Teater Utan Kayu (TUK) dan lembaga kebudayaan Salihara dan lain-lain. Dalam buku itu dibeberkan pembiayaan lembaga filantropi Barat seperti Ford Foundation, Rockefeller Foundation, USAID, Asia Foundation, bahkan tokoh Yahudi George Soros, yang kesemua lembaga Barat itu sangat anti Islam. GM sebagai ‘otak’ berbagai lembaga itu terus terang menyatakan, ”Kami memerlukan tempat lain untuk menyalurkan uang dan memperluas  perjuangan.“ Terungkap pembiayaan dari lembaga-lembaga Barat ini, di antaranya dari USAID mencapai 200.000 US dolar dengan bantuan lobby Arief Budiman yang memperkenalkan GM dengan tokoh USAID Mark Johnson. (baca halaman 224).

Karena GM dianggap sebagai agen imperialis Barat total, maka di kalangan orang-orang kiri yang semula bergabung bersama GM di KUK, mereka pun marah dan memisahkan diri dari GM. Tokoh yang melawan GM ini di antaranya Wowok Hesti Prabowo yang menerbitkan buletin Boemiputra yang selalu menghantam GM. Menurut Wowok,.....”Boemiputra memiliki missi menjadi media perlawanan terhadap imperialisme Barat, karena... terdapat indikasi-indikasi bahwa KUK--yang dipimpin GM—adalah agen imperialisme Barat (buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 halaman 258). Buku ini di hal 260 juga mengutip Boemiputra yang mengecam GM sebagai agen imperialis,  kutipannya : “ Teater Utan Kayu (TUK) dikenal sebagai Tempat Umbar Kelamin (TUK), agen imperialis dan pintu gerbang penjajahan di bidang budaya Indonesia kini telah mengapusi (menipu-red) seniman dan pemerintah daerah Jakarta dengan membuka cabang di Taman Ismail Marzuki (TIM) bernama Dewan Kesenian jakarta (DKJ). Dengan tipu muslihat dan cara-cara licik Goenawan Mohamad (GM) berhasil memperalat Akademi Jakarta (AJ). Alhasil DKJ pun diurusi orang-orang TUK.”

Sebagai pelopor liberalisme yang tampak ngotot, KUK selama ini berhadapan dengan umat Islam, khususnya dengan membangun JIL, tapi di lingkungan seniman pun missi Liberal GM juga dihantam lingkungan seniman sendiri yakni dengan hadirnya  KSI (Komunitas Sastra Indonesia) beroientasi  sastra buruh, untuk menandingi TUK, dan KUK sekaligus menentang Liberalisme. Begitu juga Forum Lingkar Pena dengan pandangan Islamnya melihat Liberalisme sebagai instrumen ideologis  untuk mendemoralilasi Islam. sebaliknya KSI dan Rumah Dunia melihat Liberalisme sebagai produk imperialisme Barat. Pada 20-22 Juli 2007 KSI membuat pernyataan : (1) Menolak dominasi dan arogansi dari satu komunitas kebudayaan satu terhadap yang lain; (2) Menolak eksploitasi sesksual sebagai standard estetika; (3) menolak bantuan asing yang bermaksud untuk memanipulasi identitas kebudayaan Indonesia. (Buku sama halaman 256).

Kutipan-kutipan dari buku Wijaya Herlambang di atas menegaskan sosok Tempo khususnya GM yang sejatinya tak pelak menjalankan missi Barat dengan agenda Liberalisme. Dengan missinya itu GM, niscaya selalu berlawanan dengan aspirasi Islam yang notabene merepresentasikan rakyat terbesar negeri bernama Indonesia ini.


sumber : Suara Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar