Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Senin, 24 Maret 2014

Salah Paham Sertifikasi


Perlu diluruskan berbagai kesalahpahaman seputar sertifikasi, terutama soal pembiayaan yang selama ini kerapkali menjadi sorotan.

"Wah salah paham ini,.." kata Lukman singkat. Dia beranjak dari meja kerjanya ke kursi sofa tamu. Diletakkannya koran Tempo edisi Jumat, 28 Februari 2014 itu di samping tempat duduk Suara Islam. "Lah kok ini yang dipersoalkan sertifikasi," katanya kesal. Padahal, kata lukman, beda antara akreditasi dengan sertifikasi.


Persoalan yang dilaporkan majalah Tempo, terkait MUI dan badan sertifikasi luar negeri, adalah persoalan akreditasi. Tak ada urusan dengan sertifikasi produk halal yang dilakukan LPPOM MUI. Sambil menghela nafas, Lukman kemudian duduk. Pagi itu, secara khusus Direktur LPPOM MUI Ir Lukmanul Hakim, M.Si berbincang dengan tabloid Suara Islam, dan dua media cetak lainnya. Panjang lebar dia menceritakan soal sertifikasi dan hal-hal sensitif terkait proses sertifikasi.

Beda Akreditasi dan Sertifikasi

Lukman kemudian menjelaskan, ada dua hal yang harus dipahami. Pertama soal akreditasi, kedua soal sertifikasi. Akreditasi dilakukan oleh pimpinan MUI terhadap lembaga-lembaga sertifikasi halal di luar negeri, sedangkan sertifikasi dilakukan oleh LPPOM MUI terhadap perusahaan-perusahaan yang memiliki produk. Akreditasi dilakukan terhadap lembaga-lembaga halal, bukan terhadap produk. “Nah yang isu-isu tadi (soal MUI dengan lembaga halal Australia, red) itu adalah masalah akreditasi,” katanya meluruskan.

Soal tuduhan Tempo terkait uang Rp820 miliar yang dibayarkan kepada MUI, Lukman mengungkap bila majalah itu salah dalam mengutip dan menerjemahkan berita dari The Sunday Mail. “Dia bisa baca nggak itu si Tempo-nya. Itu dari yang dia sebut, dia kutip ya. Dia kutip 820 milyar itu dari sini. Itu tidak ada dia menceritakan itu,” kata Lukman sembari menunjukkan kopi berita The Sunday Mail berukuran A3 yang dikutip secara salah oleh Tempo.

Lukman menjelaskan, di Queendsland ada satu lembaga sertifikasi halal bernama Australian Halal Food Services (AHFS) yang dipimpin Dr Luthfi. Nah, dalam ketentuannya, perusahaan-perusahaan daging yang hendak mengekspor produknya ke Indonesia harus mendapat sertifikasi halal dari lembaga halal di sana. Bila tidak, ia tidak bisa melakukan ekspor. Hanya saja, ada lembaga sertifikasi halal lain yang mengutip biaya sebesar Aus$27000 per bulan, yang angka ini empat kali lipat lebih mahal dari tarif yang ditetapkan AHFS.

“Jadi ini dianggapnya ke MUI, padahal ini artinya kepada lembaga halal yang lain yang diakui oleh MUI selain AHFS. Jadi empat kali lipat lebih mahal selain yang dicharge oleh AHFS,” jelas Lukman sembari membaca berita The Sunday Mail itu.

Lalu dari mana ketemu angka Rp820 miliar, meskipun di surat kabar itu tidak dituliskan?. Kemungkinan, kata Lukman, 27.000 dolar Australia dikalikan 12 bulan kemudian dikalikan sekitar 25 lembaga sertifikasi. “Uang itu bukan ke MUI, ke halal certification disana yang diakui oleh MUI. Jadi endors-nya itu mungkin nggak dikutip sama Tempo itu,” tandasnya.

Soal biaya yang harus dikeluarkan oleh sebuah lembaga halal bila dia diakreditasi lembaga lainnya, menurut Lukman adalah normatif. Artinya, bila pengurus MUI ingin mengakreditasi sebuah lembaga halal di luar negeri, maka konsekuensi biaya itu harus ditanggung oleh lembaga sertifikasi halal tersebut. Sama halnya apabila LPPOM MUI ingin dikareditasi oleh lembaga halal di luar negeri, LPPOM juga wajib mengeluarkan biaya yang dibayarkan kepada mereka. “Itu sebetulnya di dalam akreditasi itu normatif. Ada biaya transportasi. Dan itu memang ditulis secara transparan, disepakati bersama,” katanya.

Sebagai contoh, saat pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Air hendak mengakui LPPOM MUI sebagai lembaga sertifikasi halal di Indonesia, melalui surat resmi tertanggal 22 September 2013, mereka mensyaratkan supaya LPPOM MUI menyetorkan dana sebesar 5000 dirham. Secara lengkap disertakan pula dalam surat itu dengan rekening Kementerian Keuangan UEA, nama bank dan nomor rekeningnya. Sebelumnya, saat tim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Air UEA hendak datang melakukan audit terhadap LPPOM MUI pada 14 Maret 2013 lalu, mereka juga menyampaikan melalui surat resmi supaya MUI menanggung semua beban selama kunjungan tim, termasuk biaya tiket, akomodasi dan transportasi lokal. “Ini kita yang bayar,” tandas Lukman.

Begitu pula sebaliknya, bila ada lembaga sertifikasi halal di luar negeri yang ingin diakreditasi oleh MUI, karena produk-produk hasil sertifikasi mereka masuk ke Indonesia, maka mereka juga harus menanggung semua beban selama kunjungan tim, tiket pulang pergi dan akomodasi selama kunjungan.

“Karena untuk akreditasi itu MUI tidak mendapat biaya APBN. Untuk akreditasi ya. Untuk akreditasi sertifikasi halal itu MUI tidak mendapat APBN sehingga beban biaya itu diserahkan kepada lembaga-lembaga halal yang mengundang,” kata Lukman yang juga pernah bekerja di Badan Sertifikasi Nasional (BSN) itu.

Sementara, terkait pembiayaan sertifikasi halal, Lukman menjelaskan, biaya sertifikasi halal dilakukan melalui akad biaya. Pembiayaan sertifikasi halal ditetapkan berdasarkan suatu pedoman yang sudah sangat jelas, sehingga tidak dimungkinkan adanya pembiayaan lain yang tidak jelas (invisibility cost).

"Biaya sertifikasi halal ini bervariasi. Untuk usaha menengah ke atas 1-5 juta, untuk usaha kecil  nol sampai satu juta. Biaya sertifikasi ini di luar transportasi dan akomodasi," jelasnya.

 Sementara untuk biaya transportasi auditor yang datang ke perusahaan besarannya relatif, tergantung kemampuan perusahaan. "Kita terima dalam bentuk tiket dan penginapan bila diperlukan. Itu biaya perusahaan, karena LPPOM tidak dibiayai negara," ungkapnya.   

Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan seorang pengusaha untuk mendapatkan sertifikasi menjadi bervariasi. Tetapi sebenarnya, saat pemohon sertifikasi mendaftarkan permohonannya melalui sistem yang dibangun LPPOM, yakni CEROL SS-23000, mereka akan mengetahui semua biaya yang harus dikeluarkan. Baik biaya administrasinya, maupun biaya selama proses audit yang dilakukan oleh dua orang auditor LPPOM. "Pendaftaran melalui CEROL ini sejak awal tidak ada tatap muka dengan staf LPPOM. Jadi tidak ada peluang abuse of power," kata Lukman.   

Lalu bagaimana dengan Usaha Kecil Menengah (UKM), sanggupkah mereka mengurus sertifikasi halal sebagaimana dikeluhkan banyak kalangan selama ini?. Jawabannya adalah sanggup. Ada banyak cara dilakukan untuk membantu UKM memperoleh sertifikasi, mulai dari biaya administrasi yang lebih rendah, nol sampai satu juta, biaya administrasi ditanggung pemerintah setempat, seperti yang pernah dilakukan Pemprov Jawa Barat, termasuk efisiensi dari LPPOM dengan mengerahkan tenaga auditor setempat yang dimungkinkan bisa menekan beban biaya.    

“Jadi kalau misalnya perusahaannya di daerah, maka tidak semua auditor berasal dari pusat. Kita sudah buat grade auditor. Jadi bisa satu dari pusat, satu orang dari daerah dengan grade yang sama,” jelas Lukman.

Soal biaya dalam sertifikasi halal ini, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Rachmat Hidayat mengatakan hal itu sebagai hal yang normal. "Itu adalah normal practice. Nggak ada yang salah dengan itu menurut kami," kata Rachmat Jumat pekan lalu di kantor GAPMMI di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Kata Rachmat, semua sertifikasi juga mengeluarkan biaya. Sebab dalam proses sertifikasi itu ada proses audit yang dilakukan auditor. "Saya di perusahaaan saya sekarang semua sudah sertified ISO, HACCP, ISO sekarang sudah 24000, kita harus bayarin semua auditornya," kata Rachmat yang juga bekerja di sebuah perusahaan makanan dan minuman terkenal di Indonesia itu. 

Ditanya soal perbandingan besar biaya antara sertifikasi halal dan sertifikasi lainnya, seperti ISO, HACCP, dan lainnya Rachmat tidak bisa menjawab. Ia beralasan, di perusahaannya tidak menangani soal itu. "Secara harga, saya terus terang nggak bisa menjawabnya sekarang mana yang lebih mahal," ungkapnya.

Hanya saja, kata alumni IPB ini, biaya sertifikasi selain sertifikasi halal tergantung juga dengan lembaga sertifikasinya, apakah lembaga lokal atau internasional. Jika lembaga yang digunakan adalah lembaga asing, ia memaklumi bila biayanya lebih besar.

"Kalau ISO itu, apakah lembaga sertifikasinya asing, SGS, TUV, (atau lokal) Sucofindo. Itu tergantung. Saya bisa pastikan kalau SGS, TUV itu kan asing, tentu lebih mahal. Membayar orang asing kan mahal," jelasnya.

Biaya untuk proses audit, diakuinya menjadi konsekuensi perusahaan yang meminta sertifikasi untuk menanggungnya. Seperti biaya tiket perjalanan, akomodasi seperti tempat menginap dan makanan auditor selama proses audit.

Suara Islam mendapat salah satu contoh email yang dikirimkan LPPOM MUI ke sebuah perusahaan bernama PT Interbis Sejahtera, Pelembang, yang mengajukan permohonan sertifikasi halal. Dalam surat tersebut disebutkan bila LPPOM akan menugaskan dua orang auditor, satu orang auditor dari pusat dan satu orang auditor dari daerah. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan audit, dalam surat elektronik yang dikirim 26 Februari 2014 itu, LPPOM menulis supaya perusahaan menyiapkan tiket pesawat (Garuda Indonesia) untuk 1 orang auditor pusat, penginapan, konsumsi dan akomodasi lainnya. Bukan hanya itu, jadwal keberangkatan dan kepulangannya juga sudah ditetapkan.

Untuk menjaga integritas, LPPOM telah membangun sebuah sistem kerja yang tidak memungkinkan terjadinya celah gratifikasi. Apalagi proses sertifikasi halal adalah proses panjang yang tidak hanya melibatkan auditor, tetapi ujungnya juga diputuskan dalam sidang Komisi Fatwa MUI yang terdiri dari para ulama dari berbagai ormas Islam. Sistem manajemen LPPOM bahkan kini sedang dalam proses sertifikasi ISO dari lembaga sertifikasi internasional TUV. Sementara soal keuangan Lukman mengaku lembaga yang dipimpinnya itu diaudit secara independen.

Namun demikian, meski dalam surat tugas LPPOM MUI sudah menuliskan supaya perusahaan tidak memberikan apapun kepada auditor, di lapangan upaya memberikan gratifikasi itu masih ada. Terhadap masalah ini, kata Lukman, jika gratifikasi itu diberikan oleh pimpinan perusahaan secara langsung maka harus dikembalikan saat itu juga. Tetapi bila diberikan melalui orang lain, sopir misalnya, maka gratifikasi itu dibawa ke LPPOM, tidak dibuka, tapi secara resmi LPPOM yang mengembalikan. 

Gimana orang yang nyerahinnya sopir kok. Kalau dikembalikan nanti diambil sama sopir, dilaporkan (ke pimpinan perusahaan) sudah diberikan (ke auditor),” kata Lukman.


sumber: Suara Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar